[CERPEN] Bingkai Kehidupan

Semula aku berada di dalam taksi. Aku mengangguk-angguk mendengarkan racauan supir taksi itu mengenai selingkuhannya tanpa tahu malu. Ia pikir, perjaka liberal macam diriku ini bisa mafhum pada ceritanya dan bersungguh-sungguh saat aku bilang, “Nikmat dong, Pak, bisa digilir.”

Kami terkekeh sewaktu lampu lalu lintas berwarna merah. Semenit kemudian lampu menjadi kuning, lalu hijau. Mobil taksi itu bergerak maju, tapi berhenti lagi. Alur itu terus berulang sampai-sampai si supir taksi sengaja tidak menginjak pedal gas buru-buru. Padatnya lalu lintas membuat kami kerap membicarakan berbagai hal untuk membuang waktu. Sejujurnya, aku lebih suka diam saja dan memandangi kendaraan lain di sekitar, atau anak jalanan yang menawarkan kemoceng, atau banci yang bersolek demi memasukkan receh ke dalam kopek.

Aku masih terkekeh saat detik ke sepuluh yang menghitung mundur agar merah berganti kuning, lalu hijau. Semua yang supir taksi itu ceritakan bukan topik yang kugemari, tapi agar tidak melukai hati supir taksi yang botak plontos itu mengenai kisah hidup yang ia anggap amat menarik untuk diceritakan—tentang selingkuhannya, tentang istrinya yang juga belum beranak, atau tentang dirinya yang masih menumpang di rumah mertua—aku menyimak dan meladeni kelakarnya.

Walau aku tidak sungguh-sungguh mendengarkan racauan Subagyo, nama supir taksi itu, aku tetap menanggapi dan membuat Subagyo bercerita lebih banyak. Terus. Hingga merah menjadi kuning. Terus. Hingga kuning menjadi hijau. Terus. Hingga mobil itu berhenti dengan paksa.

***

Kurasa aku baru saja kehilangan nyawa. Aku tidak bisa melihat apa-apa atau mendengar Subagyo bertutur soal Shinta—itu nama selingkuhannya. Tapi, ini aneh. Katanya kalau mati rasanya akan sakit sekali ibarat ditusuk ribuan pedang. Namun, yang aku rasakan kini jauh dari rasa sakit. Malah, ada sosok bertudung hitam yang tiba-tiba muncul di sampingku. Aku berjingkrak dan hampir kencing di celana karena di bawah tudung itu bersembunyi wajah yang dilapisi topeng dengan dua lobang mata.

Aku meragu. Kalau aku bertanya, bagaimana dia bisa bersuara dengan topeng yang tidak punya lubang mulut. Mungkin tetap bisa, tapi dalam imajinasiku yang meliar sejak pertemuan pertama tadi, aku membayangkan sosok bertudung ini cacat dan hanya punya mata untuk melihat, tidak ada hidung, tidak pula mulut. Tapi, aku tetap mencoba bertanya sebab aku sungguh penasaran.

“Halo,” sapaku, “boleh tahu ini dimana?”

Sosok itu tidak menanggapi. Begitu dingin dan menakutkan, penghuni alam baka ini. Tahu-tahu dia memutar poros tubuhnya, lalu melangkah. Aku diam saja dan malah bersyukur sosok itu pergi. Namun, pada langkah ke delapan, sosok itu berbalik seolah menunggu aku untuk berjalan menyusulnya.

Aku mulai sadar setelah beberapa langkah kalau kami sedang berjalan di sebuah lorong. Lorong itu tidak sempit, bisa untuk berjalan bersisian. Aku sebenarnya ingin berjalan bersisian agar bisa mengamati sosok bertudung hitam itu lebih jelas. Tapi, setiap kali aku melangkah lebar untuk berada di sisi sosok bertudung itu, sosok bertudung itu malah mempercepat langkahnya. Kulakukan hal yang sama sebanyak tiga kali, tapi nihil tak ada hasil.  

Sosok di hadapanku kini berhenti. Dalam hati aku bertanya, ‘Apa lagi?’ karena berbeda jauh dengan Subagyo, sosok ini amat pendiam. Ia hanya menjulurkan tangannya yang berlapis sarung tangan hitam pada sebuah pintu kayu—jati, sepertinya—dengan ukiran kembang dan daun mawar. Walau tidak mengutarakan perintah dengan kata-kata. Kedua lobang hitam di topeng itu seolah tengah membelalakkan mata, menyuruh aku untuk masuk ke dalam sana.

Aku menurut saja dan mendorong pintu megah itu. tidak kusangka, rupanya pintu itu tidak sulit untuk dibuka. Ketika langkahku bertambah dua dari ambang pintu, pintu tersebut tertutup sendiri. Aku tersentak dan mencoba untuk meraih kenop pintu. Jangankan kenop, pintunya saja sekarang sudah menghilang entah ke mana. Lorong itu menjadi buntu, kecuali ia berjalan ke arah sebaliknya.

Tidak ada pilihan lain, pikirku. Aku pun berbalik arah dan mulai menyusuri ruangan dengan cat putih. Baru tiga langkah, aku menyadari di sisi kiri terdapat foto yang nampak familiar dan diberi bingkai kayu. Tidak, bukan hanya sisi itu saja yang memajang foto-foto familiar tersebut. ruangan putih itu laksana museum dan menjadikan aku—ya, aku mulai ingat kalau yang digambar itu adalah aku—sebagai objeknya.

Aku pun mulai menjelajahi ruangan itu dan mencoba mengapresiasi foto-foto yang ada laiknya kurator. Lalu, aku berhenti di sebuah foto di mana diriku masih berusia batita. Aku mengenakan kaos kuning dan juga popok. Aku perhatikan rambutku yang tipis dan warnanya cokelat terang seperti sabut kelapa. Aku ingat cerita ibuku saat aku iseng membuka album foto dan menemukan foto ini. Kata ibuku apapun yang aku lakukan akan membuat semua orang tersenyum dan mengatakan tingkahku lucu. Di sebelah foto itu aku melihat foto lainnya di usia yang sama. Aku tersenyum konyol saat melihat diriku menjilati pasta gigi seperti permen. Krisis moneter tidak luput ku rasakan—pikirku.

Selanjutnya adalah aku dengan baju putih dan celana merah sedengkul. Aku mengenakan dasi karet dan topi merah. Foto kali ini kuingat samar-samar. Aku ingat bagaimana ibuku menyisiri rambutku, lalu mengecup dahiku sehabis aku menyalimi tangannya untuk berangkat ke sekolah. Aku juga melihat fotoku yang sedang memakan makanan berbentuk lidi yang dibaluri bubuk cabe, garam, dan pewarna bersama teman sekolahku. Bibirku kelihatan merah di sana.

Tubuhku di foto sebelahnya bertambah tinggi meski aku masih menggunakan seragam yang sama. Wajahku saat ini sama gusarnya dengan wajah di foto itu. aku ingat foto ini diambil untuk ijazah SD. Aku benci sekali dengan fotografernya sehingga bibirku menekuk dan mataku menatap kamera seolah mengatai si tukang foto lewat tatap mata. Yah, tentu saja itu tidak ada gunanya, tapi aku merasa puas dan seperti menjadi pemenang saat giliranku selesai.

Selanjutnya adalah fotoku dengan celana biru, masih kemeja putih. Aku melihat potret diriku dengan kantung mata. Aku melipat tangan di depan dada sambil mengingat-ingat apa alasannya.

“Oh!” seruanku disambut gema ruangan itu.

Aku ingat mengapa aku memiliki kantung mata. Tempatku bersekolah saat itu memiliki standar yang tinggi. Waktu lolos seleksi, ibuku menangis haru di depan papan pengumuman—yang sudah pasti ada banyak orang—dan membuatku memeluk ibuku, lalu menggandengnya berjalan ke tempat yang lebih sepi agar tidak menarik perhatian orang lain. Walau sudah berusaha menyembunyikan ibuku yang menangis dengan buru-buru, ada saja seseorang di kelasku yang ingat kejadian itu. Dia mengatai ibuku cengeng, jadi kutinju saja wajahnya dan kami berdua dibawa ke ruang BK. Ibuku kelihatan sekali kecewa, jadi sejak saat itu aku belajar lebih keras dan lupa untuk bergaul—tepatnya aku tidak suka dengan anak-anak sekelasku atau malah aku tidak menyukai satu sekolah itu kecuali para guru yang mendidikku dengan benar.

Sehabis foto semasa SMP, aku tidak melihat fotoku saat SMA. Aku bukan anak yang menonjol. Tidak ada yang menarik dariku dan untuk seleksi olimpiade matematika saja aku gagal. Aku juga tidak aktif di klub. Masa-masa SMA, kalau kuingat lagi memang membosankan. Aku hanya belajar dan belajar. Tapi, rupanya ada satu foto dimana aku dengan baju formal. Aku menggunakan setelah hitam, rambutku yang tebal—jauh dari sabut kelapa—disisir rapih. Di sana aku memegangi bingkai foto dengan wajah ibuku yang tersenyum lebar. Sayangnya, saat melihat itu air mataku tumpah seketika.

Tidak lama setelah UN, aku mendapati ibuku berbaring di ranjang. Kupikir ibuku hanya ingin beristirahat sebentar sehabis membuat sarapan. Selama tiga jam, ibuku tidak bangun dari tidurnya. Aku pun menghampiri kamarnya dan mendapati tubuh ibuku membiru. Aku panik. Aku gedor pintu tetanggaku. Habis itu aku tahu ibuku rupanya telah meninggal dunia.

Setelah foto itu, aku melihat foto kelulusanku. Tidak ada ibuku. Wanita yang berada di sebelahku adalah ibu tiriku, pria dengan rambut tipis dan memiliki jidat lebar itu adalah ayah kandungku—yang sewaktu aku batita selingkuh dan memilih wanita yang menjadi ibu tiriku ini alih-alih ibu kandungku. Selama tinggal dengan mereka, aku merasa nestapa. Apalagi anak perempuan berusia SMP itu, adik tiriku, yang selalu ingin tahu apa yang kulakukan. Mereka keluarga yang baik, tapi setiap ingat ibuku yang berjuang sendiri untuk mengurusku karena pria ini—ayah kandungku—aku selalu merasa sedih.

Aku melangkah kembali. Kali ini bingkai yang ada di hadapanku kosong tanpa foto. Malah, bingkai ini rupanya sebuah cermin yang merefleksikan wajahku saat ini. Alisku tebal, jidatku berkerut, mataku sayu karena lelah, kantung mata selalu ada di bawah kedua mataku, hidungku agak pesek, kumis kucukur sampai gundul—begitu pula dengan jenggot—dan daguku cenderung lancip.

Aku menyentuh bingkai itu, lalu tersedot ke dalamnya. Waktu aku membuka mata, aku berada di ruangan yang serba putih, namun bau rumah sakit. Aku rasakan selang pada hidungku, juga kepalaku yang terasa berat untuk diangkat. Aku melirik ke sebelah kanan untuk melihat adik tiriku yang terkesiap dan segera berdiri dan menekan tombol untuk memanggil perawat kemari.

Ah, aku rasa aku masih hidup entah berapa tahun lagi.


Ditulis tahun 2019, entah di mana.

Leave a comment